Shulhan Syamsur Rijal dalam media ACTNews menulis sebanyak 92 persen dari
bencana yang menerjang Indonesia adalah bencana kategori hidrometeorologi.
Bencana hidrometeorologi berarti bencana alam yang dipicu oleh curah hujan
lebat, deras dan basah sepanjang musim hujan. Catatan bencana hidrometeorologi
seperti banjir dan tanah longsor di Indonesia membubung sepanjang tahun 2016.
BNPB sebagaimana ditulis Shulhan Syamsur Rijal
menyimpulkan catatan bencana tahun 2016 jauh lebih besar dibanding tahun 2015.
Menurut hitung-hitungan BNPB selama tahun 2016 telah terjadi 2.384 bencana alam
di seluruh Indonesia. Angka ini meningkat signifikan dibanding tahun 2015
dimana catatan bencana alam “hanya” berjumlah 1.732 kejadian. BNPB
memperkirakan selama tahun 2016 kemarin Indonesia merugi sebesar Rp 30 triliun.
Jelas angka yang tidak sedikit, kerugian merebak karena matinya lahan
pertanian, hancurnya harta benda dan robohnya rumah-rumah warga serta fasilitas
umum[1].
Kemudian berdasarkan data Statistik Bencana Indonesia
2017[2]
sejak bulan Januari sampai dengan bulan Juni dapat terlihat pada tabel berikut:
Jumlah Kejadian
|
1.368
|
Korban Meninggal & Hilang (jiwa)
|
227
|
Korban Menderita & Mengungsi (jiwa)
|
1.710.973
|
Kerusakan Permukiman (unit)
|
18.983
|
Data yang dipaparkan Statistik Bencana Indonesia 2017
di atas maupun catatan bencana pada tahun-tahun sebelumnya tidak bisa dianggap
sebagai catatan fakta bencana belaka. Data itu mesti dilihat dalam dua sudut
pandang sekaligus. Pertama, catatan data yang terberi. Artinya, bahwa data ini
memang diakui sebagai catatan atas fakta yang sudah dialami dan mungkin catatan
itu akan bertambah jumlahnya pada perjalanan manusia Indonesia pada hari-hari
yang akan datang sepanjang tahun 2017. Kedua, Data terberi itu seharusnya
ditanggapi dan dicarikan solusi yang terbaik sehingga diharapkan
sekurang-kurangnya mampu menurunkan bencana secara kuantitatif.
Pertanyaannya sekarang adalah
bagaimana sikap kita dalam menghadapi dua sudut pandang di atas dalam menyikapi
bencana? Pendekatan budaya sadar bencana merupakan jawaban yang paling ampuh,
jitu dan dianggap paling familiar untuk merangkum dua sudut pandang tersebut.
Pendekatan budaya merupakan lawan dari pendekatan-pendekatan ilmiah yang
dinilai agak susah dipahami oleh masyarakat non akademis atau masyarakat yang
memiliki SDM di bawah standar.
Untuk membantu pemahaman apa itu
budaya sadar bencana yang paling ampuh, jitu dan dianggap paling familiar, saya
memilah kata demi kata dari: budaya sadar
bencana. Pemilahan ini bertujuan untuk memahami arti masing-masing kata.
Budaya sadar bencana dipahami melalui defenisi dari masing-masing kata
tersebut.
Pertama, Budaya. Budaya diartikan pikiran,
akal budi, adat istiadat; sesuatu mengenai kebudayaan, yang sudah berkembang
(beradab maju); sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dan sukar diubah. Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang
kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian,
moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat
seseorang sebagai anggota masyarakat.[3]
Kedua, Sadar. Sadar berarti Insaf, merasa
tahu dan mengerti.
Ketiga, Bencana. Bencana berarti sesuatu
yang menyebabkan (menimbulkan) kesusahan, kerugian atau penderitaan,
kecelakaan; bahaya. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan,
baik oleh faktor alam dan atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian
harta benda, dan dampak psikologis.
Berdasarkan definisi dari
masing-masing kata di atas maka dapat disimpulkan bahwa budaya sadar bencana
merupakan kondisi pikiran, akal budi, adat istiadat atau sesuatu mengenai
kebudayaan yang sudah berkembang (beradab maju), sesuatu yang sudah menjadi
kebiasaan dan sukar diubah dari seorang atau masyarakat yang insaf, merasa tahu
dan mengerti adanya sesuatu yang menyebabkan (menimbulkan) kesusahan, kerugian
atau penderitaan, kecelakaan; bahaya.
Model pendekatan budaya sadar bencana
adalah model yang sudah melekat erat dalam diri manusia, sang pemilik
kebudayaan itu sendiri. Budaya sudah ada sejak seseorang itu di dalam kandungan
ibunya, ketika ia dilahirkan, hidup dan matipun tetap dalam suatu kerangka budaya
tertentu. Seorang ibu yang mengandung sudah menghidupi dan dihidupi oleh budaya.
Kelahiran itu sendiri bagi seorang ibu sebenarnya adalah kelahiran generasi
penerus atas budaya yang dihidupinya. Solusi terhadap bencana sudah ada dalam diri
manusia, melekat erat dalam diri manusia. Ketika seorang manusia menolak budaya
itu sama halnya menolak keberadaan dirinya sendiri dan sekaligus menolak ibu
yang telah melahirkannya.
Suatu kebanggaan yang luar biasa yang
patut kita syukuri adalah bahwa Bangsa Indonesia dianugerahi berbagai macam
budaya. Di balik rasa syukur sebagai suatu bangsa terbersit sebuah fakta yang
tidak bisa dipungkiri yakni bahwa setiap orang Indonesia pasti lahir, hidup dan
mati dalam suatu budaya tertentu. Oleh karena ia lahir dalam satu budaya
tertentu maka ia pun memiliki cara pandangnya sendiri untuk menjalin
hubungannya dengan Tuhan, hubungannya dengan manusia lain dan hubungannya
dengan lingkungannya.
Dari sekian banyak budaya di Indonesia
yang telah disebutkan di atas terdapat satu budaya yang unik dan khas yaitu
budaya Manggarai. Sebagai salah satu budaya yang unik dan khas, budaya
Manggarai memiliki sistem pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum,
adat istiadat untuk mengatur hubungannya dengan Tuhan, sesama dan
lingkungannya.
Pengertian budaya Manggarai yang
dimaksudkan di sini tidak dipahami secara pembagian administrasi pemerintahan.
Secara administrasi pemerintahan Manggarai dibagi atas tiga wilayah yaitu
Kabupaten Manggarai, Kabupaten Manggarai Timur dan Kabupaten Manggarai Barat.
Konsep budaya Manggarai mencakupi tiga wilayah administrasi pemerintahan
tersebut.
Untuk bisa mengetahui bagaimana orang
Manggarai menyikapi bencana dapat kita telusuri dari bagaimana ia menjalin
relasinya dengan Tuhan, sesama dan lingkungan dan bahkan relasi dengan dirinya
sendiri. Bentuk relasi ini hanya dapat dilihat dalam kegiatan ritual adatnya,
hasil karya seni dan cipta orang Manggarai itu sendiri.
Pertama, Upacara Penti.[4]
Upacara
Penti adalah
upacara syukur. Ketika seseorang menyebut kata "penti" dalam budaya Manggarai,
orang-orang Manggarai akan mengarahkan pikirannya pada suatu upacara syukur
meriah. Penti
dilakukan sebagai tanda syukur kepada Mori
Jari Dedek (Tuhan Pencipta) dan kepada arwah nenek moyang atas
semua hasil jerih payah yang telah diperoleh dan dinikmati. Penti juga
merupakan tanda celung
cekeng wali ntaung (musim yang berganti dan tahun yang beralih).
Upacara ini biasa dilakukan setelah semua panenan rampung (sekitar Juni-September).
Jikalau sanggup, acara ini dilakukan setiap tahun tetapi seringkali tiga atau
lima tahun sekali. Ada keyakinan bahwa jika acara ini tidak dilakukan, akan
membuat Mori Jari Dedek marah. Kalau Tuhan marah maka
akan ada bencana-bencana yang menimpa masyarakat Manggarai.
Situasi
lain yang dijadikan alasan untuk dilaksakannya upacara penti adalah maraknya kasus perselingkuhan, hasil panen
berkurang, air bersih makin sulit, pengangguran meningkat, angka putus sekolah
terus bertambah, dan berbagai persoalan lainnya. Dari sisi logika ilmu
pengetahuan, persoalan-persoalan tersebut dapat saja dijelaskan. Misalnya,
meningkatnya warga yang sakit dan meninggal dunia, barangkali karena tidak
menjaga kesehatan dan kebersihan. Masalah gagal panen, bisa saja terjadi karena
musim kemarau atau musim hujan yang berkepanjangan. Sementara masalah
perselingkuan, mungkin saja terjadi karena sering nonton sinetron di televisi
atau pengaruh tiap warga memiliki handphone
sehingga komunikasi menjadi mudah. Namun berdasarkan kepercayaan masyarakat
Manggarai bahwa gejala-gejala seperti itu sebagai tanda ada yang salah dalam
kehidupan bersama dalam masyarakat. Malapetaka-malapetaka yang terjadi sebagai
dampak atas penyimpangan terhadap tatanan nilai-nilai dan norma-norma moral
tradisional yang ada. Karena itu, untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut
harus dilakukan ruwatan atau bersih-bersih kampung.[5] Upacara penti terdiri dari
beberapa babak, yaitu:
1. Upacara pra-penti. Upacara pra-penti biasa dikenal dengan upacara Podo Tenggeng
(mempersembahkan kepincangan atau kekurangan). Upacara ini lakukan pada pagi
hari. Tujuan acara ini adalah untuk mempersembahkan segala kekurangan agar
dalam tahun berikutnya semua bencana kelaparan dijauhkan atau dibuang. Hewan
persembahannya adalah seekor babi kecil, seekor ayam kecil yang berbulu hitam,
dan juga peralatan yang tak terpakai karena rusak seperti keranjang rusak,
bakul rusak, periuk pecah. Benda-benda itu melambangkan kepincangan hidup dan
kekurangan dalam kehidupan ekonomi. Hewan dan alat-alat itu dibawa ke tempat
upacara, yaitu cunga
(tempat pertemuan dua sungai, muara). Rumusan inti doa di tempat itu adalah: "Ho'o lami ela miteng agu manuk
miteng, kudut kandod sangged rucuk agu ringgang landing toe ita hang ciwal, toe
haeng hang mane. Porong ngger laus hentet, ngger ce'es mbehok, kudut one waes
laud one lesos saled" (Kami mempersembahkan seekor babi dan
seekor ayam, semuanya berwarna hitam, sebagai tanda penolak kelaparan. Biarlah
semua bencana kelaparan hanyut di sungai ini bersama darah babi dan ayam ini
serta bersama terbenamnya matahari). Selanjutnya, ayam dan babi itu dibunuh,
digantungkan pada kayu cabang yang dipancang di tempat upacara. Kemudian,
bersama dengan peralatan yang rusak itu, babi dan ayam itu dihanyutkan. Sebelum
meninggalkan tempat itu, semua parang atau pisau yang digunakan untuk membunuh
harus dibersihkan di sungai itu. Kemudian semua orang pulang ke kampung dengan
syarat tidak menoleh ke belakang agar segala kekurangan itu tidak lagi
mengikutinya dari belakang.
2. Upacara penti. Upacara ini terbagi dalam beberapa
bagian, yakni: Barong Wae
Teku, Barong Compang, Libur Kilo, Wae Owak, Tudak Penti (upacara
puncak).
a.
Barong Wae Teku. Arti upacara Barong Wae Teku adalah
penyampaian syukur sekaligus penghormatan kepada Tuhan, karena Tuhan sudah
memberikan air untuk memenuhi kebutuhan warga. Pada upacara ini disampaikan
juga permohonan agar kebutuhan akan makanan tercukupi, dijauhkan dari segala
gangguan yang merusakkan air dan permohonan agar air memberikan kesegaran bagi
jiwa dan raga. Upacara Barong wae Teku biasanya
dilakukan pada sumber mata air kampung.
b.
Barong Compang. Barong Compang adalah upacara yang
dilakukan di Compang.[6]
Arti upacara Barong Compang adalah
penyampaian permohonan perlindungan atas seluruh kampung, permohonan untuk
dijauhkan dari gangguan wabah penyakit, dijauhkan dari gangguan manusia dan
gangguan setan, dijauhkan dari gangguan kesehatan. Warga bersatu untuk
bersama-sama menyampaikan syukur atas semua kebaikan Tuhan yang telah diperoleh
dalam tahun yang sudah dilewati, dan mohon lagi perlindungan, bimbingan serta
berkat untuk hidup selanjutnya. Kemudian ayam disembelih dan seterusnya dibuat helang.[7]
c.
Libur Kilo. Upacara libur
kilo adalah syukuran keluarga. Bahan persembahannya adalah seekor ayam dan
seekor babi kecil. Dalam upacara Libur
Kilo dinyanyikan lagu Sanda
Lima. Sanda Lima
adalah lima jenis kebutuhan pokok manusia. Lima kebutuhan itu adalah sebagai
berikut:
1.
Mbaru tara kaeng (rumah tempat tinggal)
2.
Natas tara labar (halaman tempat bermain)
3.
Wae tara teku (air minum)
4.
Uma bate duat (kebun sebagai sumber makanan dan hasil
lainnya)
5.
Compang (tempat pemujaan)
d.
Wae Owak. Wae
Owak yaitu upacara persembahan masing-masing keluarga dimana setiap
keluarga meletakkan sesajiannya di tempat khusus, sesuai kebiasaan tiap
keluarga (kilo);
ada yang dalam rumah, ada yang di luar rumah pada batu compang khusus atau pada
pohon tertentu.
e.
Tudak penti (upacara puncak).
Seluruh warga kampung berkumpul dalam rumah
gendang[8] dan
menyampaikan beberapa ujud berikut:
1.
Kiranya
makanan yang dimakan setiap hari tidak mengganggu kesehatan.
2.
Dijauhkan
dari gangguan pada saat pergi dan pulang kerja.
3.
Semoga
warga kampung tetap berkembang/meningkat jumlahnya.
4.
Mohon
kecukupan makanan.
5.
Semoga
warga memperoleh ternak.
6.
Semoga
warga kampung seluruhnya tetap sehat walafiat dan sejahtera.
Melalui
upacara penti, manusia Manggarai sudah menyadari dirinya sebagai makhluk yang
tidak sempurna. Karena itu, ia mempersembahkan segala kekurangan dalam dirinya
melalui suatu upacara yang menurut
kepercayaannya bisa menjauhkannya dari bencana. Penti adalah pernyataan syukur
karena Dia memberikan manusia kelemahan.
Di
dalam kelemahannya sebagai manusia, Allah tidak meninggalkan manusia berjalan
sendirian. Allah memberikan diriNya melalui air, dan memberikan perlindungan atas seluruh warga kampung, menjauhkan
manusia dari gangguan wabah penyakit, melindungi manusia dari gangguan manusia dan gangguan setan. Dalam kesadaran seperti inilah
warga bersatu untuk bersama-sama menyampaikan syukur atas semua kebaikan Tuhan
yang telah diperolehnya.
Kebaikan
Allah sungguh nyata dalam pemberianNya melalui Sanda Lima (rumah, halaman, air minum, sumber makanan dan tempat
menjalin relasi dengan Dia yang di atas sana). Tetapi ketika manusia melupakan
Tuhan pada satu sisi, dan tidak mensyukuri pemberian Tuhan melalui Sanda Lima
pada sisi yang lain maka bagi masyarakat Manggarai sesungguhnya tanda bencana
sudah mulai datang.
Kedua,
Pemahaman Tentang Hambor[9]
Pemahaman
tentang hambor dalam konteks
Manggarai amat dekat dengan rekonsiliasi, baik antara manusia dengan manusia,
manusia dengan alam, manusia dengan roh alam, manusia dengan wura agu ceki (nenek moyang), manusia
pribadi dengan rohnya sendiri. Konsep rekonsiliasi/hambor dalam budaya Manggarai banyak modelnya. Model hambor
tergantung dari sebab suatu kejadian dan tujuan dilakukannya upacara hambor.
Beberapa model hambor adalah sebagai berikut:
1. Ngelong.
Ngelong adalah suatu ritus untuk mencari
penyebab sakit/bencana atau keadaan aneh yang dialami seseorang. Ritus ini
dibuat apabila secara medis penyakit seseorang tidak terdeteksi atau tidak
teratasi. Orang Manggarai biasanya meyakini bahwa penyebab sakit atau keadaan aneh
pada seseorang karena telah menyengsarakan binatang dan menebang pohon pada
suatu daerah tertentu yang dianggap sakral. Ritual Ngelong dilakukan di mata air, atau di tempat dimana binatang atau
tetumbuhan itu disengsarakan. Ngelong
bertujuan untuk berdamai dengan roh alam, pemilik binatang dan tetumbuhan yang
disengsarakan. Ritus Ngelong dapat
dilakukan jika sudah melalui proses teka
latung (semacam doa/mantra yang diucapkan melalui biji jagung), nampo ruha (pengucapan mantra melalui
telur ayam kampung), dan mimpi-mimpi, penglihatan paranormal untuk mengetahui
sebab dari suatu bencana terjadi . Biasanya proses teka latung dan nampo ruha
dilakukan oleh ata pecing, ata mata gerak (orang berilmu). Ngelong sendiri dipahami pada
kenyataannya dibagi dalam dua model yaitu
a. Rudak (sakit seseorang disebabkan
sesuatu binatang/tumbuh-tumbuhan)
b. Nangki (merasakan sesuatu yang aneh pada diri seseorang)
2. Teing Hang. Orang Manggarai mengakui adanya roh yang membimbing
manusia mulai dari kandungan, selama hidup dan sampai jiwa diambil dari badan
manusia/kematian. Roh itu disebut Ase kae
weki. Nama lain dari roh ini
adalah dewa gong[10].
Roh yang membimbing seseorang harus diberi makan/Teing hang. Teing hang ada beberapa jenis, yakni:
a. Teing hang wura agu ceki
(roh nenek moyang). Teing hang wura agu
ceki biasanya dilakukan secara kolektif dalam upacara adat bersama warga
lainnya, seperti saat acara penti (tahun baru), paki jarang bolong, acara congko
lokap (syukuran pembuatan rumah adat baru), pada saat hendak pergi
berperang dan sebagainya. Maksud acara ini dilakukan adalah agar roh nenek
moyang selalu menuntun tingkah laku warga, melindung seluruh warga kampung dari
bencana.
b. Teing hang ata tua
(roh orang tua yang sudah meninggal). Roh orang tua yang sudah meninggal diyakini
selalu menjaga masing-masing keluarga. Karena itu, roh orang tua tersebut harus
diberi sesajian sehingga tidak meninggalkan seseorang/keluarga yang masih
hidup.
c. Teing hang ase kae weki de
ru (roh sendiri). Teing hang ase kae weki de ru/dewa gong melalui
telur ayam kampung. Ritusnya dilakukan di dalam kamar tidur. Tujuan teing hang ase kae weki ini adalah agar
seseorang terhindar dari penyebab kematian yang tidak diinginkan, menuntun
orang untuk bertindak benar terhadap dirinya, sesama dan lingkungannya.
d. Teing hang ase kae weki de
wina rona (roh suami-istri). Acara ritual teing hang ase kae weki suami istri dilakukan di kamar tidur.
Maksud dari ritual teing hang ase kae weki de wina rona (roh
suami-istri) adalah agar tidak ada halangan dalam keluarga, rezeki melimpah dan
relasi rumah tangga tidak retak. Bahan ritualnya juga menggunakan telur ayam
kampung tetapi sebelumnya dilaksanakan acara teing hang ata tua, teing
hang empo (nenek moyang). Menurut kepercayaan orang Manggarai keretakan
dalam rumah tangga dan keadaan tidak sejahtera disebabkan oleh tidak
berdamainya roh istri dan roh suami.
3. Hambor’s
Balok. Hambor’s Balok biasanya
dilakukan pada saat pembuatan rumah baru dengan membuat sebuah acara perdamaian
berupa ayam jantan dan telur kampung agar neka
losis ngando agu rintuk taud haju (agar kayu-kayu di dalam rumah tidak
bertengkar dan mereka berkelahi yang menyebabkan tuan rumah tidak tenang
mendiami rumah tersebut).
4. Oke dara
ta’a. Oke
dara ta’a merupakan acara rekonsiliasi yang diyakini bisa mendamaikan roh
manusia, meminta perlindungan dan pembebasan dari Roh Tertinggi. Roh Tertinggi
diharapkan menerima doa dan tidak membiarkan seseorang dari suatu keturunan/klan
mengalami bencana yang sama. Acara hambor
dengan roh pribadi bertujuan untuk meminta roh dalam diri setiap orang dalam
satu keturunan tidak meninggalkan anggota suku sehingga menyebabkan bencana
kematian beruntun, kematian dini dan mengalami kecelakaan.
Ritus-ritus
yang berkenaan dengan hambor/perdamaian
jika dilaksanakan dengan baik diyakini mendatangkan kesejahteraan hidup dan
menolak bencana. Dalam ritual ngelong
misalnya terkandung makna bahwa ketidakstabilan alam sebenarnya disebabkan oleh
karena ulah manusia. Ketidakseimbangan menyebabkan penderitaan. Oleh karena
ketidakseimbangan menyebabkan penderitaan atau bencana maka perlu ada
rekonsiliasi.
Orang
Manggarai yakin dan percaya bahwa ada roh yang membimbing manusia mulai dari
kandungan, selama hidup dan sampai jiwa diambil dari badan manusia/kematian.
Roh itu disebut Ase kae weki. Jika
roh tidak diperhatikan maka mengakibatkan tindakan seseorang menjadi tidak
benar, amoral, asusila dan sebagainya. Roh yang menuntun tingkah laku warga,
melindung seluruh warga kampung dari bencana. Roh itu pulalah yang membuat seseorang
dapat terhindar dari penyebab kematian yang tidak diinginkan, menuntun orang
untuk bertindak benar terhadap dirinya, sesama dan lingkungannya. Roh yang
membuat, rezeki melimpah dan relasi dalam rumah tangga tidak retak. Menurut
kepercayaan orang Manggarai keretakan dalam rumah tangga dan keadaan tidak
sejahtera disebabkan oleh tidak berdamainya roh istri dan roh suami. Roh yang
ada dalam diri setiap orang mampu mengatasi bencana kematian beruntun, kematian
dini dan mengalami kecelakaan. Dan agar cinta Tuhan senantiasa tetap diam di
dalam diri manusia maka roh itu harus dirawat dan diwajibkan untuk melakukan
rekonsiliasi bila sudah melakukan banyak kesalahan.
Orang Manggarai
percaya bahwa ritus hambor adalah
perintah adat. Perintah adat diyakini sebagai aturan Tuhan yang mampu membuat manusia
tentram, sejahtera, dibebaskan dari segala bencana. Amanah itu termaktub dalam
peribahasa: ‘mangga lere manggar macingí’
yang artinya Tuhan telah memberikan
semuanya kepada manusia, dan apa yang telah ditetapkan harus dijalankan dengan
baik, tetapi apabila melakukan kesalahan agar segeralah melakukan perdamaian
dengan Dia, sesama dan alam semesta seperti yang telah dilakukan nenek moyang sejak
dahulu kala.
Ketiga, Budaya Oke Copel [11]
Budaya oke copel diterjemahkan sebagai budaya tolak bala/bencana. Oke
copel ini sangat umum karena menyangkut semua hal yang bersifat negatif
seperti kematian karena dibunuh, kematian karena tertindih pohon, kecelakaan
dan sebagainya. Budaya oke copel selalu hidup dan tetap dipraktekkan
oleh orang Manggarai sampai sekarang.
Salah satu contoh kegiatan
konkret budaya oke copel adalah ritus
keti le manuk miteng, podo le manuk miteng (diputuskan atau diakhiri
dengan acara dipersembahkannya hewan piaraan berupa ayam berbulu hitam, anjing
buta atau babi hitam). Budaya keti le manuk miteng, podo le manuk miteng maksudnya
agar oke one waes laud, one lesos saled (membuang segala bentuk sial
atau keburukan ke air dan dibuang bersama terbenamnya matahari). Ritus lain oke copel juga nampak
dalam acara paki jarang bolong (acara mempersembahkan seekor kuda
hitam kecoklatan untuk mengakhiri semua bentuk penderitaan dan kematian
beruntun warga dalam satu kampung adat)
Biasanya bila ada
kecelakaan/kematian yang disebabkan oleh kendaraan, kematian karena ditikam
orang, dimakan binatang liar, disambar petir, dibawa banjir, ditimbun tanah
longsor upacara oke copel yang tepat
adalah acara oke dara ta’a (buang sial karena dibunuh orang atau
kecelakaan, tenggelam).
Menurut kepercayaan orang
Manggarai, apabila tidak dilakukan acara oke copel, maka bencana akan
selalu terjadi dan dilanjutkan pada generasi berikutnya. Jenis acara dari oke copel tergantung sebab sial. Tujuan
dari dibuatkannya acara tersebut agar tidak terulang lagi peristiwa tragis pada
generasi selanjutnya, atau tidak terulang lagi pada benda atau orang yang sama.
Dan, apabila ritus buang sial tersebut dilakukan, dipercaya sial itu akan
berakhir pada benda, orang atau generasi selanjutnya. Di setiap kampung di
Manggarai memiliki tempat untuk dijadikan sebagai lokasi pembuangan sial
seperti sungai dan jurang (cunga).
Keempat,
Pacek Pepak[12]
Pacek pepak
adalah cara dan alat tanam tradisional yang biasa dilakukan saat menanam secara
bergotong royong. Pacek pepak adalah peralatan tradisional terbuat dari
bambu dan kayu yang dilengkapi dengan tofa. Bambu dilubangi dan dibelah.
Pada ujung paling bawah dipasangi tofa untuk menggali lubang pada tanah.
Biasanya, menanam secara tradisional dengan alat tanam pacek pepak dilakukan
secara bergotong royong dalam suasana penuh suka cita dan damai.
Kegiatan pacek pepak dilakukan secara bersama-sama dalam satu irama gerakan.
Pada saat pacek menyentuh tanah seketika mengeluarkan bebunyian yang
menyentakkan hati. Bunyi-bunyian dari batang-batang bambu itu sungguh
mengasyikan layaknya orkestra yang mengalun syahdu. Bunyi bambu bermakna selain
sebagai hiburan sekaligus untuk mengusir berbagai hama dan penyakit yang
berpotensi menyerang tanaman.
Pacek pepak
biasa dilakukan oleh kaum laki-laki sedangkan kaum perempuan bertugas
menaburkan benih tanaman ke dalam lubang tanah. Acara pacek pepak
biasanya berjalan sangat meriah karena diiringi dengan nyanyian khas oleh kaum
perempuan dan laki-laki. Mereka saling berbalas pantun melalui bahasa-bahasa
kiasan. Pantun berisikan sindiran, ajakan atau rayuan gombal. Dengan menyanyi
dapat menghilangkan rasa capek sekaligus memupuk rasa kebersamaan dan
persaudaraan sejati. Lahan yang luas bisa segera selesai ditanami berkat
kebersamaan.
Kegiatan
pacek pepak dapat dilanjutkan pada hari-hari berikutnya bila lahan belum
selesai ditanami. Bila telah selesai ditanami maka seluruh warga kampung akan
kembali berkumpul pada malam hari guna merayakan seluruh rangkaian aktivitas
yang telah mereka lalui. Berbagai atraksi budaya dipentaskan seperti sanda,
mbata, danding, landu atau tarian dan kesenian adat lainnya dalam nuansa
kebersamaan dan persaudaraan sejati.
Pacek pepak bukanlah suatu kegiatan yang tidak
memiliki makna. Ia memiliki makna yang sangat mendalam. Pacek pepak memiliki nilai hiburan,
dipercayai mampu mengusir berbagai hama dan penyakit yang berpotensi menyerang
tanaman sekaligus memupuk rasa kebersamaan dan persaudaraan sejati. Selain itu,
dalam kegiatan komunal ini terkandung makna bahwa masyarakat Manggarai sudah
memiliki daya upaya untuk mengatasi bencana kelaparan serta bencana hama dan
penyakit terhadap tanaman.
Penutup
Pendekatan budaya merupakan jawaban
yang paling ampuh, jitu dan dianggap paling familiar untuk menyikapi bencana.
Budaya memiliki relasi yang sangat erat dengan pola pikir, kebiasaan yang sukar
diubah. Di dalam budaya, seseorang sudah, sedang dan akan terus memiliki
kemampuan dasar mengenai pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat
istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain untuk menanggulangi bencana. Pengingkaran
atas budaya sama dengan pengingkaran atas dirinya sendiri sebab ia sudah lahir
dalam suatu budaya. Seorang manusia seharusnya harus mensyukuri budayanya kalau
ia tidak mau dianggap manusia rendahan atau manusia yang paling sial karena
sudah dilahirkan.
Budaya sadar bencana adalah model yang
sudah melekat erat dalam diri manusia, sang pemilik kebudayaan itu sendiri.
Oleh karena itu, kesadaran akan bencana dan solusinya sebenarnya sudah ada
sejak seseorang itu lahir, melekat erat dalam diri manusia. Melalui kegiatan
ritual tertentu hubungan dengan Tuhan, sesama dan lingkungan dipulihkan dan
diharapkan bisa menjauhkan manusia dari bencana-bencana yang menimpa,
kepincangan hidup dan kekurangan dalam kehidupan sosio ekonomi masyarakat.
Melaui Sanda Lima masyarakat Manggarai sudah
menyadari bahwa bencana tidak akan datang bila adalah rumah tinggal, halaman
tempat bermain, air minum, serta tempat beribadah sudah dipenuhi. Manusia dalam
budayanya selalu berharap untuk terus mendapatkan berkat Tuhan sehingga pada
gilirannya dijauhkan dari gangguan wabah penyakit, dijauhkan dari gangguan
sesama manusia dan gangguan setan.
Manusia Manggarai menyadari bahwa dalam berelasi
seringkali mengalami kepincangan. Untuk itu perlu diupayakan rekonsiliasi
(hambor) antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, manusia dengan roh
alam, manusia dengan nenek moyang, manusia pribadi dengan rohnya sendiri,
manusia dengan Tuhan. Melalui berbagai ritus seperti Penti, oke
copel, dan lain
sebagainya orang Manggarai percaya bahwa peristiwa tragis/bencana pada generasi
selanjutnya tidak terulang lagi.
Akhirnya,
semua orang Manggarai yakin bahwa budaya yang baik akan mendatangkan
kesejahteraan hidup. ‘Mangga Lere Manggar Macingí’. Tuhan telah memberikan semuanya kepada
manusia, dan apa yang telah ditetapkan harus dijalankan dengan baik, tetapi
apabila melakukan kesalahan agar segeralah melakukan perdamaian dengan Dia,
sesama dan alam semesta seperti yang telah dilakukan nenek moyang sejak dahulu
kala.
[4] Informasi tentang Upacara Penti
ini dikutip oleh penulis dari artikel: “Mengenal
Upacara Penti dalam Budaya Manggarai” yang ditulis oleh David Edison pada
media online Kompasiana.com. Penulis
kemudian membuat ringkasan tentang Upacara Penti tetapi ringkasan ini dibuat
dengan harapan tidak mengurangi isi artikel aslinya. Penulis juga menambahkan
beberapa informasi tambahan dari sumber lain untuk melengkapi pemahaman tentang
upacara penti.
[6] Compang adalah kumpulan batu yang
tersusun rapi (batu berundak-undak), berbentuk seperti meja persembahan dan
biasanya terletak di tengah kampung. Compang biasanya digunakan sebagai tempat
pemujaan roh-roh atau tempat warga kampung berkomunikasi dengan Tuhan secara
umum.
[7] Helang adalah sesajian yang
dipersembahkan kepada Tuhan dan arwah para leluhur. Bahan sesajian berupa nasi
dan potongan daging yang diiris kecil-kecil.
[8] Rumah Gendang adalah nama rumah adat
orang Manggarai.
[10] Dewa gong adalah
dewa/roh yang menuntun langkah seseorang manusia dalam hidupnya yang erat
kaitannya dengan suara hati dan hati nurani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar