Rabu, 02 Agustus 2017

Menemukan Jalan Emas Dalam Budaya Menuju Penanggulangan Bencana di Indonesia


 Shulhan Syamsur Rijal dalam media ACTNews menulis sebanyak 92 persen dari bencana yang menerjang Indonesia adalah bencana kategori hidrometeorologi. Bencana hidrometeorologi berarti bencana alam yang dipicu oleh curah hujan lebat, deras dan basah sepanjang musim hujan. Catatan bencana hidrometeorologi seperti banjir dan tanah longsor di Indonesia membubung sepanjang tahun 2016.
BNPB sebagaimana ditulis Shulhan Syamsur Rijal menyimpulkan catatan bencana tahun 2016 jauh lebih besar dibanding tahun 2015. Menurut hitung-hitungan BNPB selama tahun 2016 telah terjadi 2.384 bencana alam di seluruh Indonesia. Angka ini meningkat signifikan dibanding tahun 2015 dimana catatan bencana alam “hanya” berjumlah 1.732 kejadian. BNPB memperkirakan selama tahun 2016 kemarin Indonesia merugi sebesar Rp 30 triliun. Jelas angka yang tidak sedikit, kerugian merebak karena matinya lahan pertanian, hancurnya harta benda dan robohnya rumah-rumah warga serta fasilitas umum[1].
Kemudian berdasarkan data Statistik Bencana Indonesia 2017[2] sejak bulan Januari sampai dengan bulan Juni dapat terlihat pada tabel berikut:



Jumlah Kejadian

1.368


Korban Meninggal & Hilang (jiwa)

227
Korban Menderita & Mengungsi (jiwa)

1.710.973
Kerusakan Permukiman (unit)

18.983


Data yang dipaparkan Statistik Bencana Indonesia 2017 di atas maupun catatan bencana pada tahun-tahun sebelumnya tidak bisa dianggap sebagai catatan fakta bencana belaka. Data itu mesti dilihat dalam dua sudut pandang sekaligus. Pertama, catatan data yang terberi. Artinya, bahwa data ini memang diakui sebagai catatan atas fakta yang sudah dialami dan mungkin catatan itu akan bertambah jumlahnya pada perjalanan manusia Indonesia pada hari-hari yang akan datang sepanjang tahun 2017. Kedua, Data terberi itu seharusnya ditanggapi dan dicarikan solusi yang terbaik sehingga diharapkan sekurang-kurangnya mampu menurunkan bencana secara kuantitatif.
Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana sikap kita dalam menghadapi dua sudut pandang di atas dalam menyikapi bencana? Pendekatan budaya sadar bencana merupakan jawaban yang paling ampuh, jitu dan dianggap paling familiar untuk merangkum dua sudut pandang tersebut. Pendekatan budaya merupakan lawan dari pendekatan-pendekatan ilmiah yang dinilai agak susah dipahami oleh masyarakat non akademis atau masyarakat yang memiliki SDM di bawah standar.
Untuk membantu pemahaman apa itu budaya sadar bencana yang paling ampuh, jitu dan dianggap paling familiar, saya memilah kata demi kata dari: budaya sadar bencana. Pemilahan ini bertujuan untuk memahami arti masing-masing kata. Budaya sadar bencana dipahami melalui defenisi dari masing-masing kata tersebut.
Pertama, Budaya. Budaya diartikan pikiran, akal budi, adat istiadat; sesuatu mengenai kebudayaan, yang sudah berkembang (beradab maju); sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dan sukar diubah. Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.[3]
Kedua, Sadar. Sadar berarti Insaf, merasa tahu dan mengerti.
Ketiga, Bencana. Bencana berarti sesuatu yang menyebabkan (menimbulkan) kesusahan, kerugian atau penderitaan, kecelakaan; bahaya. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Berdasarkan definisi dari masing-masing kata di atas maka dapat disimpulkan bahwa budaya sadar bencana merupakan kondisi pikiran, akal budi, adat istiadat atau sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab maju), sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dan sukar diubah dari seorang atau masyarakat yang insaf, merasa tahu dan mengerti adanya sesuatu yang menyebabkan (menimbulkan) kesusahan, kerugian atau penderitaan, kecelakaan; bahaya.
Model pendekatan budaya sadar bencana adalah model yang sudah melekat erat dalam diri manusia, sang pemilik kebudayaan itu sendiri. Budaya sudah ada sejak seseorang itu di dalam kandungan ibunya, ketika ia dilahirkan, hidup dan matipun tetap dalam suatu kerangka budaya tertentu. Seorang ibu yang mengandung sudah menghidupi dan dihidupi oleh budaya. Kelahiran itu sendiri bagi seorang ibu sebenarnya adalah kelahiran generasi penerus atas budaya yang dihidupinya. Solusi terhadap bencana sudah ada dalam diri manusia, melekat erat dalam diri manusia. Ketika seorang manusia menolak budaya itu sama halnya menolak keberadaan dirinya sendiri dan sekaligus menolak ibu yang telah melahirkannya.
Suatu kebanggaan yang luar biasa yang patut kita syukuri adalah bahwa Bangsa Indonesia dianugerahi berbagai macam budaya. Di balik rasa syukur sebagai suatu bangsa terbersit sebuah fakta yang tidak bisa dipungkiri yakni bahwa setiap orang Indonesia pasti lahir, hidup dan mati dalam suatu budaya tertentu. Oleh karena ia lahir dalam satu budaya tertentu maka ia pun memiliki cara pandangnya sendiri untuk menjalin hubungannya dengan Tuhan, hubungannya dengan manusia lain dan hubungannya dengan lingkungannya.
Dari sekian banyak budaya di Indonesia yang telah disebutkan di atas terdapat satu budaya yang unik dan khas yaitu budaya Manggarai. Sebagai salah satu budaya yang unik dan khas, budaya Manggarai memiliki sistem pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat untuk mengatur hubungannya dengan Tuhan, sesama dan lingkungannya.
Pengertian budaya Manggarai yang dimaksudkan di sini tidak dipahami secara pembagian administrasi pemerintahan. Secara administrasi pemerintahan Manggarai dibagi atas tiga wilayah yaitu Kabupaten Manggarai, Kabupaten Manggarai Timur dan Kabupaten Manggarai Barat. Konsep budaya Manggarai mencakupi tiga wilayah administrasi pemerintahan tersebut.
Untuk bisa mengetahui bagaimana orang Manggarai menyikapi bencana dapat kita telusuri dari bagaimana ia menjalin relasinya dengan Tuhan, sesama dan lingkungan dan bahkan relasi dengan dirinya sendiri. Bentuk relasi ini hanya dapat dilihat dalam kegiatan ritual adatnya, hasil karya seni dan cipta orang Manggarai itu sendiri.

Pertama, Upacara Penti.[4]
Upacara Penti adalah upacara syukur. Ketika seseorang menyebut kata "penti" dalam budaya Manggarai, orang-orang Manggarai akan mengarahkan pikirannya pada suatu upacara syukur meriah. Penti dilakukan sebagai tanda syukur kepada Mori Jari Dedek (Tuhan Pencipta) dan kepada arwah nenek moyang atas semua hasil jerih payah yang telah diperoleh dan dinikmati. Penti juga merupakan tanda celung cekeng wali ntaung (musim yang berganti dan tahun yang beralih). Upacara ini biasa dilakukan setelah semua panenan rampung (sekitar Juni-September). Jikalau sanggup, acara ini dilakukan setiap tahun tetapi seringkali tiga atau lima tahun sekali. Ada keyakinan bahwa jika acara ini tidak dilakukan, akan membuat Mori Jari Dedek marah. Kalau Tuhan marah maka akan ada bencana-bencana yang menimpa masyarakat Manggarai.
Situasi lain yang dijadikan alasan untuk dilaksakannya upacara penti adalah maraknya kasus perselingkuhan, hasil panen berkurang, air bersih makin sulit, pengangguran meningkat, angka putus sekolah terus bertambah, dan berbagai persoalan lainnya. Dari sisi logika ilmu pengetahuan, persoalan-persoalan tersebut dapat saja dijelaskan. Misalnya, meningkatnya warga yang sakit dan meninggal dunia, barangkali karena tidak menjaga kesehatan dan kebersihan. Masalah gagal panen, bisa saja terjadi karena musim kemarau atau musim hujan yang berkepanjangan. Sementara masalah perselingkuan, mungkin saja terjadi karena sering nonton sinetron di televisi atau pengaruh tiap warga memiliki handphone sehingga komunikasi menjadi mudah. Namun berdasarkan kepercayaan masyarakat Manggarai bahwa gejala-gejala seperti itu sebagai tanda ada yang salah dalam kehidupan bersama dalam masyarakat. Malapetaka-malapetaka yang terjadi sebagai dampak atas penyimpangan terhadap tatanan nilai-nilai dan norma-norma moral tradisional yang ada. Karena itu, untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut harus dilakukan ruwatan atau bersih-bersih kampung.[5] Upacara penti terdiri dari beberapa babak, yaitu:
1.    Upacara pra-penti. Upacara pra-penti biasa dikenal dengan upacara Podo Tenggeng (mempersembahkan kepincangan atau kekurangan). Upacara ini lakukan pada pagi hari. Tujuan acara ini adalah untuk mempersembahkan segala kekurangan agar dalam tahun berikutnya semua bencana kelaparan dijauhkan atau dibuang. Hewan persembahannya adalah seekor babi kecil, seekor ayam kecil yang berbulu hitam, dan juga peralatan yang tak terpakai karena rusak seperti keranjang rusak, bakul rusak, periuk pecah. Benda-benda itu melambangkan kepincangan hidup dan kekurangan dalam kehidupan ekonomi. Hewan dan alat-alat itu dibawa ke tempat upacara, yaitu cunga (tempat pertemuan dua sungai, muara). Rumusan inti doa di tempat itu adalah: "Ho'o lami ela miteng agu manuk miteng, kudut kandod sangged rucuk agu ringgang landing toe ita hang ciwal, toe haeng hang mane. Porong ngger laus hentet, ngger ce'es mbehok, kudut one waes laud one lesos saled" (Kami mempersembahkan seekor babi dan seekor ayam, semuanya berwarna hitam, sebagai tanda penolak kelaparan. Biarlah semua bencana kelaparan hanyut di sungai ini bersama darah babi dan ayam ini serta bersama terbenamnya matahari). Selanjutnya, ayam dan babi itu dibunuh, digantungkan pada kayu cabang yang dipancang di tempat upacara. Kemudian, bersama dengan peralatan yang rusak itu, babi dan ayam itu dihanyutkan. Sebelum meninggalkan tempat itu, semua parang atau pisau yang digunakan untuk membunuh harus dibersihkan di sungai itu. Kemudian semua orang pulang ke kampung dengan syarat tidak menoleh ke belakang agar segala kekurangan itu tidak lagi mengikutinya dari belakang.
2.    Upacara penti. Upacara ini terbagi dalam beberapa bagian, yakni: Barong Wae Teku, Barong Compang, Libur Kilo, Wae Owak, Tudak Penti (upacara puncak).
a.    Barong Wae Teku. Arti upacara Barong Wae Teku adalah penyampaian syukur sekaligus penghormatan kepada Tuhan, karena Tuhan sudah memberikan air untuk memenuhi kebutuhan warga. Pada upacara ini disampaikan juga permohonan agar kebutuhan akan makanan tercukupi, dijauhkan dari segala gangguan yang merusakkan air dan permohonan agar air memberikan kesegaran bagi jiwa dan raga. Upacara Barong wae Teku biasanya dilakukan pada sumber mata air kampung.
b.    Barong Compang. Barong Compang adalah upacara yang dilakukan di Compang.[6] Arti upacara Barong Compang adalah penyampaian permohonan perlindungan atas seluruh kampung, permohonan untuk dijauhkan dari gangguan wabah penyakit, dijauhkan dari gangguan manusia dan gangguan setan, dijauhkan dari gangguan kesehatan. Warga bersatu untuk bersama-sama menyampaikan syukur atas semua kebaikan Tuhan yang telah diperoleh dalam tahun yang sudah dilewati, dan mohon lagi perlindungan, bimbingan serta berkat untuk hidup selanjutnya. Kemudian ayam disembelih dan seterusnya dibuat helang.[7]
c.    Libur Kilo. Upacara libur kilo adalah syukuran keluarga. Bahan persembahannya adalah seekor ayam dan seekor babi kecil. Dalam upacara Libur Kilo dinyanyikan lagu Sanda Lima. Sanda Lima adalah lima jenis kebutuhan pokok manusia. Lima kebutuhan itu adalah sebagai berikut:
1.   Mbaru tara kaeng (rumah tempat tinggal)
2.   Natas tara labar (halaman tempat bermain)
3.   Wae tara teku (air minum)
4.   Uma bate duat (kebun sebagai sumber makanan dan hasil lainnya)
5.   Compang (tempat pemujaan)
d.      Wae Owak. Wae Owak yaitu upacara persembahan masing-masing keluarga dimana setiap keluarga meletakkan sesajiannya di tempat khusus, sesuai kebiasaan tiap keluarga (kilo); ada yang dalam rumah, ada yang di luar rumah pada batu compang khusus atau pada pohon tertentu.
e.      Tudak penti (upacara puncak). Seluruh warga kampung berkumpul dalam rumah gendang[8] dan menyampaikan beberapa ujud berikut:
1.   Kiranya makanan yang dimakan setiap hari tidak mengganggu kesehatan.
2.   Dijauhkan dari gangguan pada saat pergi dan pulang kerja.
3.   Semoga warga kampung tetap berkembang/meningkat jumlahnya.
4.   Mohon kecukupan makanan.
5.   Semoga warga memperoleh ternak.
6.   Semoga warga kampung seluruhnya tetap sehat walafiat dan sejahtera.
Melalui upacara penti, manusia Manggarai sudah menyadari dirinya sebagai makhluk yang tidak sempurna. Karena itu, ia mempersembahkan segala kekurangan dalam dirinya melalui suatu upacara yang menurut kepercayaannya bisa menjauhkannya dari bencana. Penti adalah pernyataan syukur karena Dia memberikan manusia kelemahan.
Di dalam kelemahannya sebagai manusia, Allah tidak meninggalkan manusia berjalan sendirian. Allah memberikan diriNya melalui air, dan memberikan perlindungan atas seluruh warga kampung, menjauhkan manusia dari gangguan wabah penyakit, melindungi manusia dari gangguan manusia dan gangguan setan. Dalam kesadaran seperti inilah warga bersatu untuk bersama-sama menyampaikan syukur atas semua kebaikan Tuhan yang telah diperolehnya.
Kebaikan Allah sungguh nyata dalam pemberianNya melalui Sanda Lima (rumah, halaman, air minum, sumber makanan dan tempat menjalin relasi dengan Dia yang di atas sana). Tetapi ketika manusia melupakan Tuhan pada satu sisi, dan tidak mensyukuri pemberian Tuhan melalui Sanda Lima pada sisi yang lain maka bagi masyarakat Manggarai sesungguhnya tanda bencana sudah mulai datang.

Kedua, Pemahaman Tentang Hambor[9]
Pemahaman tentang hambor dalam konteks Manggarai amat dekat dengan rekonsiliasi, baik antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, manusia dengan roh alam, manusia dengan wura agu ceki (nenek moyang), manusia pribadi dengan rohnya sendiri. Konsep rekonsiliasi/hambor dalam budaya Manggarai banyak modelnya. Model hambor tergantung dari sebab suatu kejadian dan tujuan dilakukannya upacara hambor. Beberapa model hambor adalah sebagai berikut:
1.      Ngelong. Ngelong adalah suatu ritus untuk mencari penyebab sakit/bencana atau keadaan aneh yang dialami seseorang. Ritus ini dibuat apabila secara medis penyakit seseorang tidak terdeteksi atau tidak teratasi. Orang Manggarai biasanya meyakini bahwa penyebab sakit atau keadaan aneh pada seseorang karena telah menyengsarakan binatang dan menebang pohon pada suatu daerah tertentu yang dianggap sakral. Ritual Ngelong dilakukan di mata air, atau di tempat dimana binatang atau tetumbuhan itu disengsarakan. Ngelong bertujuan untuk berdamai dengan roh alam, pemilik binatang dan tetumbuhan yang disengsarakan. Ritus Ngelong dapat dilakukan jika sudah melalui proses teka latung (semacam doa/mantra yang diucapkan melalui biji jagung), nampo ruha (pengucapan mantra melalui telur ayam kampung), dan mimpi-mimpi, penglihatan paranormal untuk mengetahui sebab dari suatu bencana terjadi . Biasanya proses teka latung dan nampo ruha dilakukan oleh ata pecing, ata mata gerak (orang berilmu). Ngelong sendiri dipahami pada kenyataannya dibagi dalam dua model yaitu
a.   Rudak (sakit seseorang disebabkan sesuatu binatang/tumbuh-tumbuhan)
b.  Nangki (merasakan sesuatu yang aneh pada diri seseorang)

2.    Teing Hang. Orang Manggarai mengakui adanya roh yang membimbing manusia mulai dari kandungan, selama hidup dan sampai jiwa diambil dari badan manusia/kematian. Roh itu disebut Ase kae weki. Nama lain dari roh ini adalah dewa gong[10]. Roh yang membimbing seseorang harus diberi makan/Teing hang. Teing hang ada beberapa jenis, yakni:
a.    Teing hang wura agu ceki (roh nenek moyang). Teing hang wura agu ceki biasanya dilakukan secara kolektif dalam upacara adat bersama warga lainnya, seperti saat acara penti (tahun baru), paki jarang bolong, acara congko lokap (syukuran pembuatan rumah adat baru), pada saat hendak pergi berperang dan sebagainya. Maksud acara ini dilakukan adalah agar roh nenek moyang selalu menuntun tingkah laku warga, melindung seluruh warga kampung dari bencana.
b.    Teing hang ata tua (roh orang tua yang sudah meninggal). Roh orang tua yang sudah meninggal diyakini selalu menjaga masing-masing keluarga. Karena itu, roh orang tua tersebut harus diberi sesajian sehingga tidak meninggalkan seseorang/keluarga yang masih hidup.
c.    Teing hang ase kae weki de ru (roh sendiri). Teing hang ase kae weki de ru/dewa gong melalui telur ayam kampung. Ritusnya dilakukan di dalam kamar tidur. Tujuan teing hang ase kae weki ini adalah agar seseorang terhindar dari penyebab kematian yang tidak diinginkan, menuntun orang untuk bertindak benar terhadap dirinya, sesama dan lingkungannya.
d.    Teing hang ase kae weki de wina rona (roh suami-istri). Acara ritual teing hang ase kae weki suami istri dilakukan di kamar tidur. Maksud dari ritual teing hang ase kae weki de wina rona (roh suami-istri) adalah agar tidak ada halangan dalam keluarga, rezeki melimpah dan relasi rumah tangga tidak retak. Bahan ritualnya juga menggunakan telur ayam kampung tetapi sebelumnya dilaksanakan acara teing hang ata tua, teing hang empo (nenek moyang). Menurut kepercayaan orang Manggarai keretakan dalam rumah tangga dan keadaan tidak sejahtera disebabkan oleh tidak berdamainya roh istri dan roh suami.
3.    Hambor’s Balok. Hambor’s Balok biasanya dilakukan pada saat pembuatan rumah baru dengan membuat sebuah acara perdamaian berupa ayam jantan dan telur kampung agar neka losis ngando agu rintuk taud haju (agar kayu-kayu di dalam rumah tidak bertengkar dan mereka berkelahi yang menyebabkan tuan rumah tidak tenang mendiami rumah tersebut).
4.      Oke dara ta’a. Oke dara ta’a merupakan acara rekonsiliasi yang diyakini bisa mendamaikan roh manusia, meminta perlindungan dan pembebasan dari Roh Tertinggi. Roh Tertinggi diharapkan menerima doa dan tidak membiarkan seseorang dari suatu keturunan/klan mengalami bencana yang sama. Acara hambor dengan roh pribadi bertujuan untuk meminta roh dalam diri setiap orang dalam satu keturunan tidak meninggalkan anggota suku sehingga menyebabkan bencana kematian beruntun, kematian dini dan mengalami kecelakaan.
Ritus-ritus yang berkenaan dengan hambor/perdamaian jika dilaksanakan dengan baik diyakini mendatangkan kesejahteraan hidup dan menolak bencana. Dalam ritual ngelong misalnya terkandung makna bahwa ketidakstabilan alam sebenarnya disebabkan oleh karena ulah manusia. Ketidakseimbangan menyebabkan penderitaan. Oleh karena ketidakseimbangan menyebabkan penderitaan atau bencana maka perlu ada rekonsiliasi.
Orang Manggarai yakin dan percaya bahwa ada roh yang membimbing manusia mulai dari kandungan, selama hidup dan sampai jiwa diambil dari badan manusia/kematian. Roh itu disebut Ase kae weki. Jika roh tidak diperhatikan maka mengakibatkan tindakan seseorang menjadi tidak benar, amoral, asusila dan sebagainya. Roh yang menuntun tingkah laku warga, melindung seluruh warga kampung dari bencana. Roh itu pulalah yang membuat seseorang dapat terhindar dari penyebab kematian yang tidak diinginkan, menuntun orang untuk bertindak benar terhadap dirinya, sesama dan lingkungannya. Roh yang membuat, rezeki melimpah dan relasi dalam rumah tangga tidak retak. Menurut kepercayaan orang Manggarai keretakan dalam rumah tangga dan keadaan tidak sejahtera disebabkan oleh tidak berdamainya roh istri dan roh suami. Roh yang ada dalam diri setiap orang mampu mengatasi bencana kematian beruntun, kematian dini dan mengalami kecelakaan. Dan agar cinta Tuhan senantiasa tetap diam di dalam diri manusia maka roh itu harus dirawat dan diwajibkan untuk melakukan rekonsiliasi bila sudah melakukan banyak kesalahan.
Orang Manggarai percaya bahwa ritus hambor adalah perintah adat. Perintah adat diyakini sebagai aturan Tuhan yang mampu membuat manusia tentram, sejahtera, dibebaskan dari segala bencana. Amanah itu termaktub dalam peribahasa: ‘mangga lere manggar macingí’ yang artinya Tuhan telah memberikan semuanya kepada manusia, dan apa yang telah ditetapkan harus dijalankan dengan baik, tetapi apabila melakukan kesalahan agar segeralah melakukan perdamaian dengan Dia, sesama dan alam semesta seperti yang telah dilakukan nenek moyang sejak dahulu kala.
Budaya oke copel diterjemahkan sebagai budaya tolak bala/bencana. Oke copel ini sangat umum karena menyangkut semua hal yang bersifat negatif seperti kematian karena dibunuh, kematian karena tertindih pohon, kecelakaan dan sebagainya. Budaya oke copel selalu hidup dan tetap dipraktekkan oleh orang Manggarai sampai sekarang.
Salah satu contoh kegiatan konkret budaya oke copel adalah ritus keti le manuk miteng, podo le manuk miteng (diputuskan atau diakhiri dengan acara dipersembahkannya hewan piaraan berupa ayam berbulu hitam, anjing buta atau babi hitam). Budaya keti le manuk miteng, podo le manuk miteng maksudnya agar oke one waes laud, one lesos saled (membuang segala bentuk sial atau keburukan ke air dan dibuang bersama terbenamnya matahari). Ritus lain oke copel juga nampak dalam acara paki jarang bolong (acara mempersembahkan seekor kuda hitam kecoklatan untuk mengakhiri semua bentuk penderitaan dan kematian beruntun warga dalam satu kampung adat)
Biasanya bila ada kecelakaan/kematian yang disebabkan oleh kendaraan, kematian karena ditikam orang, dimakan binatang liar, disambar petir, dibawa banjir, ditimbun tanah longsor upacara oke copel yang tepat adalah acara oke dara ta’a (buang sial karena dibunuh orang atau kecelakaan, tenggelam).
Menurut kepercayaan orang Manggarai, apabila tidak dilakukan acara oke copel, maka bencana akan selalu terjadi dan dilanjutkan pada generasi berikutnya. Jenis acara dari oke copel tergantung sebab sial. Tujuan dari dibuatkannya acara tersebut agar tidak terulang lagi peristiwa tragis pada generasi selanjutnya, atau tidak terulang lagi pada benda atau orang yang sama. Dan, apabila ritus buang sial tersebut dilakukan, dipercaya sial itu akan berakhir pada benda, orang atau generasi selanjutnya. Di setiap kampung di Manggarai memiliki tempat untuk dijadikan sebagai lokasi pembuangan sial seperti sungai dan jurang (cunga).

Keempat, Pacek Pepak[12]
Pacek pepak adalah cara dan alat tanam tradisional yang biasa dilakukan saat menanam secara bergotong royong. Pacek pepak adalah peralatan tradisional terbuat dari bambu dan kayu yang dilengkapi dengan tofa. Bambu dilubangi dan dibelah. Pada ujung paling bawah dipasangi tofa untuk menggali lubang pada tanah. Biasanya, menanam secara tradisional dengan alat tanam pacek pepak dilakukan secara bergotong royong dalam suasana penuh suka cita dan damai.
Kegiatan pacek pepak dilakukan secara bersama-sama dalam satu irama gerakan. Pada saat pacek menyentuh tanah seketika mengeluarkan bebunyian yang menyentakkan hati. Bunyi-bunyian dari batang-batang bambu itu sungguh mengasyikan layaknya orkestra yang mengalun syahdu. Bunyi bambu bermakna selain sebagai hiburan sekaligus untuk mengusir berbagai hama dan penyakit yang berpotensi menyerang tanaman.
Pacek pepak biasa dilakukan oleh kaum laki-laki sedangkan kaum perempuan bertugas menaburkan benih tanaman ke dalam lubang tanah. Acara pacek pepak biasanya berjalan sangat meriah karena diiringi dengan nyanyian khas oleh kaum perempuan dan laki-laki. Mereka saling berbalas pantun melalui bahasa-bahasa kiasan. Pantun berisikan sindiran, ajakan atau rayuan gombal. Dengan menyanyi dapat menghilangkan rasa capek sekaligus memupuk rasa kebersamaan dan persaudaraan sejati. Lahan yang luas bisa segera selesai ditanami berkat kebersamaan.
Kegiatan pacek pepak dapat dilanjutkan pada hari-hari berikutnya bila lahan belum selesai ditanami. Bila telah selesai ditanami maka seluruh warga kampung akan kembali berkumpul pada malam hari guna merayakan seluruh rangkaian aktivitas yang telah mereka lalui. Berbagai atraksi budaya dipentaskan seperti sanda, mbata, danding, landu atau tarian dan kesenian adat lainnya dalam nuansa kebersamaan dan persaudaraan sejati.
Pacek pepak bukanlah suatu kegiatan yang tidak memiliki makna. Ia memiliki makna yang sangat mendalam. Pacek pepak memiliki nilai hiburan, dipercayai mampu mengusir berbagai hama dan penyakit yang berpotensi menyerang tanaman sekaligus memupuk rasa kebersamaan dan persaudaraan sejati. Selain itu, dalam kegiatan komunal ini terkandung makna bahwa masyarakat Manggarai sudah memiliki daya upaya untuk mengatasi bencana kelaparan serta bencana hama dan penyakit terhadap tanaman.

Penutup
Pendekatan budaya merupakan jawaban yang paling ampuh, jitu dan dianggap paling familiar untuk menyikapi bencana. Budaya memiliki relasi yang sangat erat dengan pola pikir, kebiasaan yang sukar diubah. Di dalam budaya, seseorang sudah, sedang dan akan terus memiliki kemampuan dasar mengenai pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain untuk menanggulangi bencana. Pengingkaran atas budaya sama dengan pengingkaran atas dirinya sendiri sebab ia sudah lahir dalam suatu budaya. Seorang manusia seharusnya harus mensyukuri budayanya kalau ia tidak mau dianggap manusia rendahan atau manusia yang paling sial karena sudah dilahirkan.
Budaya sadar bencana adalah model yang sudah melekat erat dalam diri manusia, sang pemilik kebudayaan itu sendiri. Oleh karena itu, kesadaran akan bencana dan solusinya sebenarnya sudah ada sejak seseorang itu lahir, melekat erat dalam diri manusia. Melalui kegiatan ritual tertentu hubungan dengan Tuhan, sesama dan lingkungan dipulihkan dan diharapkan bisa menjauhkan manusia dari bencana-bencana yang menimpa, kepincangan hidup dan kekurangan dalam kehidupan sosio ekonomi masyarakat.
Melaui Sanda Lima masyarakat Manggarai sudah menyadari bahwa bencana tidak akan datang bila adalah rumah tinggal, halaman tempat bermain, air minum, serta tempat beribadah sudah dipenuhi. Manusia dalam budayanya selalu berharap untuk terus mendapatkan berkat Tuhan sehingga pada gilirannya dijauhkan dari gangguan wabah penyakit, dijauhkan dari gangguan sesama manusia dan gangguan setan.
Manusia Manggarai menyadari bahwa dalam berelasi seringkali mengalami kepincangan. Untuk itu perlu diupayakan rekonsiliasi (hambor) antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, manusia dengan roh alam, manusia dengan nenek moyang, manusia pribadi dengan rohnya sendiri, manusia dengan Tuhan. Melalui berbagai ritus seperti Penti, oke copel, dan lain sebagainya orang Manggarai percaya bahwa peristiwa tragis/bencana pada generasi selanjutnya tidak terulang lagi.
Akhirnya, semua orang Manggarai yakin bahwa budaya yang baik akan mendatangkan kesejahteraan hidup. ‘Mangga Lere Manggar Macingí’. Tuhan telah memberikan semuanya kepada manusia, dan apa yang telah ditetapkan harus dijalankan dengan baik, tetapi apabila melakukan kesalahan agar segeralah melakukan perdamaian dengan Dia, sesama dan alam semesta seperti yang telah dilakukan nenek moyang sejak dahulu kala.




[4] Informasi tentang Upacara Penti ini dikutip oleh penulis dari artikel: “Mengenal Upacara Penti dalam Budaya Manggarai” yang ditulis oleh David Edison pada media online Kompasiana.com. Penulis kemudian membuat ringkasan tentang Upacara Penti tetapi ringkasan ini dibuat dengan harapan tidak mengurangi isi artikel aslinya. Penulis juga menambahkan beberapa informasi tambahan dari sumber lain untuk melengkapi pemahaman tentang upacara penti.
[6] Compang adalah kumpulan batu yang tersusun rapi (batu berundak-undak), berbentuk seperti meja persembahan dan biasanya terletak di tengah kampung. Compang biasanya digunakan sebagai tempat pemujaan roh-roh atau tempat warga kampung berkomunikasi dengan Tuhan secara umum.
[7] Helang adalah sesajian yang dipersembahkan kepada Tuhan dan arwah para leluhur. Bahan sesajian berupa nasi dan potongan daging yang diiris kecil-kecil.
[8] Rumah Gendang adalah nama rumah adat orang Manggarai.
[10] Dewa gong adalah dewa/roh yang menuntun langkah seseorang manusia dalam hidupnya yang erat kaitannya dengan suara hati dan hati nurani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menemukan Jalan Emas Dalam Budaya Menuju Penanggulangan Bencana di Indonesia

 Shulhan Syamsur Rijal dalam media ACTNews menulis sebanyak 92 persen dari bencana yang menerjang Indonesia adalah bencana kategori hid...